Sabtu, 17 Maret 2012


D.   Manusia dihiasi dengan Hati.
Penciptaan manusia semakin sempurna dengan dilengkapinya manusia dengan segumpal daging yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila buruk, maka buruklah seluruh jasadnya. Segumpal daging itu adalah Hati.
Dalam berfikir, Allah menyuruh manusia bukan hanya dengan ‘aqal, tetapi agar hasil dari pemikirannya itu dekat dengan kebenaran dan jauh dari kesalahan maka hendaklan juga dengan mengiringinya dengan hati. Dengan kata lain manusia harus berfikir menggunakan ‘aqal dan hatinya secara beriringan. Sebab, penelitian juga menunjukkan bahwa terkadang hati manusia itu dapat mengambil suatu langkah cepat dan depat dari ada otak (‘aqal), inilah yang sering disebut dengan intuisi.
Kita tidak bisa memastikan apakah hati yang dimaksud dalam pandangan agama ini sama dengan organ hati yang sering disebut dengan hepar, salah satu dari organ itestinal manusia.
Namun, hal ini bukanlah suatu hal yang harus menjadi bahan perdebatan di antara kita, namun lebih kepada suatu yang harus kita yakini sebagai salah satu bentuk kekuasaan Allah yang menjadikan penciptaan manusia begitu sempurna. Hati harus kita jaga, dan harus kita pergunakan sesuai dengan aturan Allah. Semoga Allah menjadikan hati kita menjadi hati yang  diridhai-Nya.
Berbicara mengenai hati, sangat erat kaitannya dengan iman. Iman manusia kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir baik maupun buruk.



Manusia sebagai makhluk Allah, berbeda dengan makhluk Allah yang memiliki iman yang kuat, yaitu Malaikat. Sebab perbedaan itu, ada pula pembagian jenis iman yang ada pada makhluk Allah, sebagai mana berikut ini:
1.     Iman para Malaikat Allah : Yajiidu wa La Yanqush (bertambah dan tidak berkurang)
2.     Iman manusia : Yajiidu wa Yanqush (bertambah dan berkurang)
3.     Iman para Iblis : La Yajiidu wa Yanqush (tidak bertambah dan berkurang)
Berdasarkan hal ini, kita pahami bahwa sebaik-baik iman kepada Allah adalah imannya para Malaikat. Dan masalahnya kita bukan Malaikat, walaupun ada yang bernama Malik, Ridhwan, dll. imannya para Malaikat terus bertambah sebab mereka diciptakan untuk selalu menghamba kepada Allah sesuai dengan tugas yang Allah berikan. Berbeda dengan manusia, Malaikat tidak punya nafsu. Itulah yang menjadikan Iman manusia berubah-ubah, naik-turun. Namun, meskipun demikian bukan lah serta-merta kita mengatakan wajar-wajar saja saat melihat seorang manusia yang shalatnya jalan terus tetapi maksiatnya juga jalan terus. Jangan pernah beranggapan begitu! Itu artinya manusia yang seperti itu adalah manusia yang gagal, gagal dalam mengendalikan nafsunya. Ingatlah! Iblis dilaknat oleh Allah itu karena Iblis lebih memperturutkan nafsunya daripada melaksanakan perintah Allah. Dan saya yakin, tidak ada diantara kita yang mau disamakan dengan Iblis. Sebab Iblis itu tempatnya di neraka, dan saya, juga pembaca pasti ingin ke surga.
Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.

C.   Manusia dihiasi dengan Nafsu.
Salah satu perbedaan lain yang lain yang paling menandakan sifat manusia adalah Nafsu. Berbeda dengan Malaikat, hamba Allah yang imannya selalu bertambah dan selalu berbakti kepada Allah, menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan Allah. Malaikat tidak diberikan Nafsu, seperti manusia.
Berbeda pula dengan hewan, hakikinya manusia memilik Nafsu, hewan juga memiliki Nafsu, namun manusia tidak lah sama dengan hewan yang hanya menuruti nafsunya tanpa memikirkan bagaimana menggunakan nafsu itu dan kapan waktu yang tepat untuk memperturutkannya. Jadi, kalau ada manusia yang saat ini hanya memperturutkan Nafsunya tanpa berfikir panjang mengenai benar atau salahnya yang ia lakukan, tidak ada lah bedanya dengan hewan. Manusia seperti ini lah yang nantinya statusnya akan disamakan dengan binatang ternak, sebab hanya memperturutkan nafsunya belaka, bahkan bisa lebih sesat lagi daripada binatang ternak itu.
Pengertian sederhana yang dapat dengan mudah kita pahami tentang Nafsu adalah sesuatu faktor internal yang mendorong seorang manusia untuk bertingkahlaku (baik itu perbuatan yang baik maupun yang buruk).
 Ada beberapa macam pembagian nafsu oleh para ulama, diantaranya adalah mereka membagi nafsu yang dimiliki oleh manusia itu menjadi 3 jenis, yaitu :
1.     Nafsu yang tenang (An-nafsul Muthmainnah)
Mereka yang memilik nafsu yang tenang (muthmainnah), adalah mereka yang dalam hidupnya selalu berusaha untuk mengerjakan yang diperintahkah oleh Allah dan meninggalkan yang di larang oleh Allah. Nafsu bukan lah sesuatu yang harus diperturutkan sebagaimana mereka yang mempertuhankan nafsunya. Tetapi, lebih mempergunakannya untuk mencari kesenangan dibawah naungan aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kelak Allah akan memberikan penghargaan bagi manusia yang memiliki nafsu yang tenang sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Fajr 27-30 :
Artinya :
“Wahai jiwa (Nafsu) yang tenang !. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr : 27-30).
2.     Nafsu yang lemah ( An-Nafsul Lawwamah)
Nafsu yang lemah adalah Nafsu yang terkadang berbuat baik, namun terkadang kembali berbuat kejahatan (keburukan) dan dosa. Hati manusia memang kadang berbolak-balik. Namun, sepatutnya manusia itu berusah menjaga dengan sekuat hatinya agar tak lebih banyak dalam berbuat keburukan. Sebab, nafsu yang lebih banyak ingin berbuat buruk dan diperturuti yang memilikinya adalah Nafsu yang lemah. Dan apabila sampai pada akhir hidupnya ia masih dalam keadaan berbuat keburukan (dosa) maka ia akan ditempatkan dalam tempat orang yang dimurkai oleh Allah, yaitu Neraka.
Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam menerangkan dalam haditsnya bahwa “manusia ada yang selama hidupnya selalu berbuat amalan ahli surga, namun ketetapan Allah mendahuluinya, ia beramal dengan amalan ahli neraka dan ia pun dimasukkan ke dalam Neraka. sebaliknya, ada pula manusia yang selama hidupnya selalu beramal dengan amalan ahli neraka, namun ketetapan Allah mendahuluinya sehingga ia beramal dengan amalan ahli surga dan ia pun masuk ke dalam surga Allah.

Kita adalah manusia yang tidak memiliki sedikit ilmu pun tentang kapan kita akan dipanggil oleh Allah, sehingga kita diwajibkan beramal sesuai yang diperintahkan oleh Allah dan tidak menenggelamkan hati kita dalam kenikmatan hidup di dunia dan terlena di dalamnya sehingga kita hanya sedikit berbuat baik dan sangat sering berbuat dosa. Semoga Allah menunjuki kita ke dalam golongan orang yang memiliki nafsu yang diridhai Allah dan menghindarkan kita dari golongan orang yang memilik nafsu yang lemah (Lawwamah).
3.     Nafsu yang selalu mendorong kepada kejahatan ( An-nafsu Ammaratun bissu’i)
Macam nafsu yang dimiliki oleh manusia yang terakhir adalah Nafsu yang Ammaratun bissu’I, atau Nafsu yang selalu mendorong untuk berbuat kejahatan atau dosa. Mengenai hal ini, dalam Al-Qur’an Allah mengisahkan perkatan Nabi Yusuf AS yang sempat dipenjara atas tuduhan mencoba untuk menzinai Zulaikha, kemudian dibebaskan kembali karena Nabi Yusuf AS memang tidak bersalah. Beliau menerangkan sebagaimana dalam firman Allah, surah Yusuf ayat 53 berikut ini :
Artinya :
      “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Yusuf : 53).

Dari penjelasan dari dalam ayat itu, kita mampu memahami bahwa hanya nafsu yang diberi rahmat oleh Allah lah nafsu yang mampu menjaga diri manusia dari berbuat kejahatan dan dosa. Dalam ayat itu juga sekaligus dijelaskan bahwa manusia yang sudah sempurna akhlaknya pun belum tentu bebas dari kesalahan seperti yang dinyatkan oleh Nabi Yusuf AS, Namun Allah juga Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap hambanya yang berusaha meminta ampunan Allah dan berusaha menjauhkan dirinya dari segala dosa dan hal-hal yang tidak berguna bagi dirinya.
Diantara ketiga macam Nafsu yang menyertai manusia itu, satu yang paling kita harapkan adalah nafsu jenis yang pertama. Sebab dengan itu lah kita dapat meraih ridha Allah, dan apabila kita sudah mendapatkan ridha Allah, maka akan dengan mudah kita menjalani hidup di dunia dan di akhirat nanti mudah-mudahan Allah akan menempatkan kita dalam sebaik-baik tempat disisi-Nya.


B.   Manusia dihiasi dengan ‘Aqal.
Hal yang membedakan manusia dengan segala macam bentuk ciptaan Allah yang lainnya adalah manusia dihiasi oleh Allah dengan ‘Aqal.  Berbeda dengan makhluk Allah, misalnya hewan, yang dihiasi dengan nafsu namun tidak dihiasi dengan ‘aqal. Barangkali, secara biologis belum ada perbedaan antara letak ‘aqal pada manusia dengan hewan, sebab manusia punya otak, hewan juga punya. Namun, jelas manusia tidak ingin disamakan dengan hewan.
Mengenai hal pikiran inilah sangat beragam pandangan para ahli biologi. Sama dengan masalah ruh, yang sampai saat ini belum ada kepastian dimana letak perbedaan antara otak manusia dengan otak hewan (sehingga tidak sama cara berfikir antara manusia dengan hewan) sebab mengenai hal ini tidak bisa dibedakan dari segi kuantitas atau ukurannya saja.
Masalah mengenai perbedaan ini bukan lah masalah primer yang harus diselesaikan oleh manusia, tetapi untuk apa atau bagaimana pertanggungjawaban kita nanti di hari yang pada saat itu seorang anak tidak lagi memikirkan ibu dan ayahnya, hari pertanggungjawaban manusia atas segala hal yang telah Allah pinjamkan kepada kita, termasuk segala yang ada pada diri kita.
Manusia diberi ‘aqal agar mampu berfikir, memahami tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat dilihat dalam kehidupa di dunia yang penuh dengan keindahan yang membuat manusia jadi terlena. Orang atheis yang nyatanya mempercayai bahwa ada sesuatu yang mengatur alam ini, seharusnya lebih mampu menggunakan ‘aqalnya untuk mencari jalan yang benar dalam kehidupan ini, sehingga hidupnya tidak terombang-ambing dalam dunia khayal yang mendatangkan kesesatan bagi dirinya dan orang lain. Begitu juga para ilmuwan yang beragama diluar Islam.
Dengan cara berfikir manusia yang selalu mencari kebenaran, sepatutnya manusia sudah meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah adalah Tuhan yang haq disembah, dan Islam adalah agama Allah yang sebenar-benar agama dalam hidup ini. Apabila ‘aqal yang diberikan Allah digunakan dengan baik, maka tidak akan ada lagi manusia yang menyembah dan mempertuhankan sesama manusia, mempertuhankan benda-benda yang dibuat sendiri oleh manusia, misalnya menyembah patung, pohon yang dibentuk, api yang besar, dsb.
Patung yang disembah oleh orang-orang yang sesat itu, tak kan mampu berbuat apa-apa untuk memberikan segala yang kita butuhkan untuk hidup kita. Jadi, tidak pantaslah manusia menyembah yang diciptakan manusia, apalagi menyembah sesama manusia, walaupun seseorang itu adalah orang paling kaya di dunia, sepatutnya manusia menyembah yang menciptakan manusia dan yang memberikan kecukupan dalam menjalani hidup.
Manusia yang Allah berikan kesempurnaan dengan menghiasinya dengan ‘aqal, hendaklah berfikir lebih jernih lagi tentang benar-salahnya jalan hidup yang ia tempuh selama ini, tak terkecuali kita yang notabenenya adalah seorang muslim. Hal-hal yang perlu kita renungkan adalah adakah kita masih sama dengan mereka yang belum mampu berfikir dengan jernih itu? adakah kita mengaku beragama Islam hanya karena kedua orangtua kita juga beragama Islam?
Kalaulah kita mengaku beragama Islam hanya karena orangtua kita juga beragama Islam terlebih dahulu, maka sama saja status kita dengan mereka yang beragama Nasrani, Yahudi, dll, sebab mereka juga jadi seorang Nasrani atau beragama yang lainnya karena memang orantua mereka juga beragama Nasrani atau yang lainnya. Mengenal Islam sejak lahir itu adalah hidayah Allah, masalahnya kemudian adalah bagaimana kita menyikapi hidayah yang telah kita dapatkan sejak lahir ini. Apakah kita masih saja menganggap Islam itu hanya penambah identitas dalam hidup, atau memang sudah menganggap lebih jauh lagi bahwa Islam adalah tuntunan dalam hidup yang segala ajarannya akan kita jalankan sebagai bentuk penghambaan (pengabdian) kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala kembali kepada cara kita berfikir menggunakan ‘aqal yang Allah berikan kepada kita.
Semoga Allah menunjuki kita bagaimana kita menggunakan fikiran kita dalam menjalani hidup di dunia yang sementara ini. Wallahu A’lam.


A.   Penciptaan manusia menurut pandangan ajaran agama Islam.
Dalam Al-Qur’an, Allah menerangkan secara jelas menurut hal yang mampu dimengerti oleh manusia mengenai bagaimana asal mula manusia yang saat ini beragam jenis rupa dan tingkahnya. Secara jelas manusia berasal dari manusia, yakni Nabiyullah Adam AS dan istrinya yang Allah ciptakan dari tulang rusuk Adam, yakni Hawa. Seandainya para ilmuwan terdahulu mampu berfikir lebih rasional, mungkin tidak akan ada lagi anggapan bahwa manusia berasal dari kera. Tetapi, anehnya sudah jelas-jelas teori itu dapat ditumbangkan, tetap saja keturunan manusia diberi pengetahuan seperti itu sejak ia kecil melalui kurikulum belajar di sekolahnya.
Saat ini para ilmuwan dunia tidak punya pegangan pasti mengenai asal mula penciptaan manusia, sudah sesejatinya kita kembali kepada keyakinan spiritual manusia yang hakiki, yaitu manusia pertama yang Allah ciptakan adalah Adam AS dengan penciptaan yang sangat kompleks dan sempurna dan istrinya Hawa.
Manusia diciptakan oleh Allah dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk, yaitu manusia yang pertama, Adam AS. Dan seterusnya Allah jadikan manusia itu berkembang biak, sehingga manusia seperti kita yang hidup di zaman sekarang ini tidak berasal dari tanah lagi, melainkan seperti yang Allah jelaskan dalam firmannya, Surah Al-Mu’minun 12-14 :



Artinya :
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang  tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. (QS. Al-Mu’minun 12-14).

Ada penjelasan yang sangat mudah dimengerti  dari ayat tersebut, apalagi setalah ada sekian banyak perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ini. Pertama, Allah menerangkan bahwa manusia itu berasal dari saripati, yaitu tanah. Manusia pertama yang Allah ciptakan dari tanah itu adalah Adam AS, lalu seterusnya Allah menerangkan manusia itu berasal dari air yang hina yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim), yaitu anak-anak Adam dan Hawa. Lalu berkembanglah air mani yang tersimpan dalam rahim itu menurut aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, hingga akhirnya sampai lah pada penciptaan yang sempurna dan siap untuk hidup di dunia.
Jelaslah sudah bagaimana awal mula penciptaan manusia, firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 1 :
Artinya :
            “Wahai manusia! Bertakwa lah pada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS. An-Nisa’ : 1).